Nama yang diberikan oleh orang tuanya adalah Tahir, baru kemudian namanya diganti menjadi Harun bin Said, pergantian namanya itu mempunyai kisah sendiri yang akan dituturkan di belakang.
Tahir adalah putera Bawean, asal keturunan dan lahir di Pulau Bawean yang termasuk wilayah Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Desanya Diponggo, 17 km dari pelabuhan Bawean yang bernama Sangkapura. Ayahnya bernama Mahdar dan ibunya bernama Aswiyani. la anak ke-3 dalam keluarganya. Tidak ada catatan yang pasti tentang hari kelahirannya. Di dalam daftar pekerjaannya tercatat 4 April 1947, tetapi menurut uraian perjalanan hidupnya telah mengenal zaman Jepang, sewajarnya ia dilahirkan di sekitar tahun 1939 seperti keterangan ibunya sendiri.
Tahir adalah putera Bawean, asal keturunan dan lahir di Pulau Bawean yang termasuk wilayah Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Desanya Diponggo, 17 km dari pelabuhan Bawean yang bernama Sangkapura. Ayahnya bernama Mahdar dan ibunya bernama Aswiyani. la anak ke-3 dalam keluarganya. Tidak ada catatan yang pasti tentang hari kelahirannya. Di dalam daftar pekerjaannya tercatat 4 April 1947, tetapi menurut uraian perjalanan hidupnya telah mengenal zaman Jepang, sewajarnya ia dilahirkan di sekitar tahun 1939 seperti keterangan ibunya sendiri.
Tahir adalah anak bandel, sekolahnya di Bawean hanya sampai SD kelas 3, itu pun ia sering membolos. Sejak kecil terkenal keras kemauan, pantang dilarang kehendaknya atau ia mesti ngambek, namun tidak pernah menunjukkan tanda-tanda melawan orang tuanya. Kepada agama Islam Ia patuh seperti orang-orang Bawean umumnya. Setelah ayahnya meninggal dunia di Ujung Pandang sebagai romusha di zaman Jepang, ibunya berhijrah ke Jakarta dengan Tahir dan adiknya, Nawawi.
Darah perantauan dan darah laut seperti umumnya orang-orang Bawean, tampak sekali pada Tohir, ia ikut berlayar ke Medan sampai Singapora. Di sana Ia tinggal beberapa tahun dan diangkat sebagai anak oleh Haji Said dan diberi nama Harun, itulah sebabnya ia terkenal sebagai bernama Harun bin H. Said.
Setelah 5 tahun di Singapora, Tahir pulang ke Jakarta dengan nama Harun bin Said. Ia telah menjadi manusia lain dan bukan Tahir yang nakal di Bawean dahulu, Ia rajin mengikuti kursus bahasa Inggris dan Cina, bahkan mengikuti dan lulus ujian SMP, kemudian kursus SMA tidak sampai tamat. Ia lalu meneruskan bakat dalam perkapalan dan mengikuti kursus Mualim Pelayaran Terbatas (MPT). Kursus itu tidak sempat diselesaiakannya karena Ia tertarik masuk KKO AL, dan kemudian diterima sebagai sukarelawan dalam rangka ”Konfrontasi Malaysia”.
Di dalam KKO AL dan wadah sukarelawan itulah ia bertemu dengan Djanatin alias Usman dan sampai akhir hayatnya mereka berdua selalu berdampingan.
Bersama melaksanakan tugas suci.
Djanatin dan Harun sudah digembleng dalam latihan-latihan AL dan bersedia melaksanakan tugas suci sebagai sukarelawan ”Konfrontasi Malaysia” memenuhi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Dwikora itu berbunyi sebagai berikut :
Jelaslah bahwa sasaran utamanya membubarkan negara boneka Malaysia.
Yang dimaksud dengan negara boneka, Malaysia bukanlah negara Malaysia yang sekarang ini. Pada waktu itu pembentukan negara Malaysia sedang dalam pertumbuhan yang ditentang oleh sebagian rakyatnya sendiri. Sebagian dari rakyat Brunei memberontak pada tanggal 8 Desember 1962. Pemberontakan itu dipimpin oleh Azhari bin Sheik Mahmud Ashari dari Partai Rakyat Brunei. Tujuannya membentuk Negara Kalimantan Utara dengan daerahnya yang meliputi jajahan Inggris di Kalimantan Utara.
Waktu itu negara Malaysia bernama Persekutuan (Federasi) Tanah Melayu dibawah pimpinan Perdana Menteri Teungku Abdurakhman. Federasi itu meliputi daerah-daerah Malaya, Singapora, Serawak, Brunei dan Sabah. Maksudnya untuk mewujudkan persatuan bangsa Melayu, mengadakan kerjasama di bidang politik dan ekonomi, memperbaiki perimbangan penduduk sehingga golongan Cina tidak lagi merupakan mayoritas dan membendung arus komunisme.
Dunia internasional terbagi antara yang setuju dan yang tidak setuju kepada pembentukan Federasi Malaysia, yang menyetujui ialah: 1. Amerika Serikat; 2. Inggris; 3. PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) yang mencari penyelesaian yang ideal dan obyektip; 4. India; 5. Jepang; dan 6. RPA (Mesir). Persetujuan negara-negara itu dengan alasan masing-masing, tidak seluruhnya sama alasannya.
Yang tidak setuju, ialah: 1. Irak; 2. RRC; 3. Burma; 4. Korea; dan 5. Vietnam Utara, alasannya-pun berbeda satu dengan lainnya.
Indonesia pada mulanya menyetujui pembentukan Federasi itu apabila hal itu memang dikehendaki rakyat yang bersangkutan serta tidak membahayakan integrasi Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya Indonesia berbalik menentang Federasi Malaysia karena menganggap, bahwa Federasi Malaysia itu proyek Neo Kolonialisme Inggris yang membahayakan bagi revolusi Indonesia. Dalam hal pemberontakan rakyat di Brunei yang akan membentuk Negara Kalimantan Utara, Indonesia justru memberikan dukungan dan akan memberikan bantuan di segala bidang.
Atas dasar pendirian itu maka Indonesia mengumumkan ”Konfrontasi” dengan Federasi Malaysia dan lahirlah Dwikora tersebut. Pelaksanaannya antara lain memanggil sukarelawan dari berbagai bagian ABRI.
Menurut surat perintah KKO tanggal 27 Agustus 1964 Kopral Usman dan Prako II Harun dimasukkan dalam Tim Brahmana I dibawah pimpinan Kapten KKO Paulus Subekti yang pada waktu itu menyamar sebagai Letnan Kolonel KKO dan merangkap menjadi Komandan Basia X yang berpangkalan di Pulau Sambu, Riau. Di Pulau Sambu inilah Kopral KKO Djanatin alias Usman bin H. Moh. Ali bertemu dengan Prako II Harun bin H. Said alias Tahir, mereka berdua bertemu pula dengan Gani bin Arup.
Setelah beberapa waktu di Pulau Sambu, mereka bertiga mendapat perintah untuk menyusup ke daratan Singapora, tugas mereka ialah untuk mengadakan sabotase.
Pada tanggal 8 Maret 1965 mereka bertiga berangkat dengan bekal 12,5 kg bahan peledak. Mereka berangkat di malam hari, pada waktu gelombang Selat Malaka tidak begitu besar. Sasaran mereka tidak ditentukan secara pasti, sasaran itu diserahkan kepada mereka bertiga untuk yang dapat menggoyahkan kepercayaan umum kepada Pemerintah Singapora, bagian dari Federasi Malaysia.
Tiga sabotir itu naik kapal karet, tiap kali mereka mengira ada bahaya patroli perairan, maka mereka lalu turun dari kapal dan bergantungan pada kapal itu dengan seluruh tubuhnya di dalam air. Perjalanan yang berat itu waktu menjelang pagi 9 Maret 1965 dapat berhasil mencapai daratan dan masuk Singapora. Pendaratannya di Singapora itu adalah yang ketiga kalinya. Sebelumnya, khusus untuk penyelidikan, mereka sudah dua kali ke Singapora. Dengan demikian mereka dapat mengadakan perhitungan efektif akan akibat dari sabotase yang akan dilakukannya.
Penjagaan keamanan sudah barang tentu amat kuat dan ketat, namun 3 orang sukarelawan itu cukup gesit dan mampu menghindarkan sergapan musuh. Siang itu mereka berpisah satu sama lain untuk melakukan orientasi sedalam-dalamnya. Malam harinya mereka berkumpul kembali di satu tempat yang ditetapkan. Kesimpulan dari hasil orientasinya ialah, bahwa obyek-obyek militer amat ketat penjagaannya dan sulit sekali didekati. Mereka lalu memutuskan untuk melakukan sabotase pada obyek non militer, namun cukup akan menyebabkan
masyarakat menjadi panik hingga timbul kesan pemerintah tidak dapat menjamin keamanan masyarakat. Sasaran yang ditetapkan ialah Hotel Mr. Mc. Donald house di Orchard Road, sebuah hotel di tengah-tengah kota yang ramai dikunjungi orang dan di sekitarnya banyak toko-toko besar.
Di tengah malam buta, di waktu kota Singapora berangsur-angsur makin sepi, mereka menuju sasaran. Mereka mendekati Hotel besar tersebut tanpa menimbulkan suatu kecurigaan, dan berhasil menempatkan bahan peledaknya di sana. Setelah selesai memasang bahan peledak itu, mereka berpisah lagi satu sama lain.
Keesokan harinya terjadilah peledakan hebat di bangunan Hotel Mc. Donal House di Orchard Road dengan dahsyat. Tiga orang tewas seketika, sejumlah orang luka berat dan ringan, sebagian dari bangunan hotel itu hancur, toko-toko dan mobil-mobil yang ada di sekitar hotel tersebut hancur.
Sabotase itu telah mencapai efek yang dimaksudkan, masyarakat Singapore menjadi gelisah dan menimbulkan kegoyahan kepercayaan kepada pemerintahnya.
Kalangan yang bertanggung-jawab keamanan resah gelisah, segera dilakukan penyelidikan di seluruh Singapora dan pengamanan yang amat ketat sekali, pekerjaan pengamanan dilakukan dengan cermat sekali sehingga sulit orang akan lolos dari jaringan pengamanan.
Pada hari itu juga, 10 Maret 1965, ketiga sabotir itu berkumpul dan memutuskan akan kembali ke pangkalan mereka di Pulau Sambu. Usman dan Harun bersama-sama Gani memisahkan diri. Mereka mencari dan harus menemukan jalan dan caranya sendiri-sendiri.
Usman dan Harun segera menuju ke pelabuhan Singapora, mereka berhasil naik dalam kapal ”Begama” dan menyamar sebagai pelayan dapur. Dua hari lamanya mereka bersembunyi di kapal itu, tetapi pada malam hari 12 Maret 1965 penyamarannya diketahui oleh pemilik kapal, mereka diusir dengan ancaman, kalau tak mau pergi akan dilaporkan kepada yang wajib.
Usman dan harun meninggalkan kapal ”Begama” pada tanggal 13 Maret 1965 dan mencari kapal lain, tetapi tidak berhasil. Sedang mereka berusaha mencari kapal yang dapat menyelamatkan dirinya, tiba-tiba mereka melihat sebuah motor-boat yang dikemudikan oleh seorang Cina, tak ada jalan lain bagi kedua mereka itu kecuali harus merebut motor-boat itu. Dengan menumpahkan segala keberanian dan kenekatannya mereka merebut motor-boat dan segera melaju menuju Pulau Sambu.
Namun nasib tak menguntungkan dua orang sukarelawan Indonesia itu. Di tengah lautan motor-boat itu macet hingga patroli perairan Singapora datang menjemput mereka. Pada tangal 13 Maret 1965 jam 09.00 pagi Usman dan Harun ditangkap kemudian ditahan untuk menunggu perkaranya diajukan ke muka pengadilan.
Kurang lebih 6 bulan lamanya mereka meringkuk dalam tahanan. Dengan tabah mereka menunggu perkaranya diadili. Sementara itu di tanah air terjadi Pemberontakan G-30-S/PKI pada tanggal 30 September 1965.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 di saat Pemerintah RI telah dipimpin oleh Presiden Suharto, Usman bin H. Moh Ali dan Harun bin Said diajukan ke Pengadilan Tinggi (High Court) Singapore dengan tuduhan telah melanggar ”Internal Security Act” (Undang-undang keamanan dalam negeri) dan dituntut berdasarkan ”Emergency Regulations 1964” (Criminal trials), perbuatan kriminal.Pada tanggal 20 Oktober 1965 Usman dan Harun dijatuhi hukuman mati.
Kedua terdakwa tersebut dibela oleh ahli hukum Singapora. T.T. Rayah dengan biaya Pemerintah RI. Segala usaha dilakukan oleh pembela agar kedua tertuduh diperlakukan sebagai tawanan perang, tetapi ditolak oleh pengadilan.
Oleh karenanya Usman dan Harun diadili sebagai penjahat biasa. Pengadilan Tinggi tersebut memutuskan bahwa pelaksanaan hukuman mati kedua orang pemuda Indonesia tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1968.
Pada tanggal 6 Juni 1966 mereka naik banding ke Pengadilan Federal (Malaysia). Pada waktu itu Singapora masih bagian dari Federasi Malaysia. Permohonan naik banding itu ditolak pada tanggal 5 Oktober 1966. Kemudian, pada tanggal 17 Pebruari 1967 perkara tersebut diajukan ke ’Prici Council’ di London, namun usaha penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu pun gagal pula. Surat penolakannya datang pada tanggal 1 Mei 1968.
Setelah usaha naik banding tidak berhasil, maka ditempuhlah usaha hukum terakhir, yakni mohon grasi kepada Presiden Singapora Yusuf bin Ishak. Permohonan grasi diajukan pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu dilakukan usaha lewat diplomasi. Kedubes RI di Singapora diperintahkan menggunakan segala daya upaya yang mungkin menyelamatkan dua orang prajurit kita itu.
Menteri Luar Negeri RI H. Adam Malik menghubungi Menteri Luar Negeri Singapora. namun usaha ini pun mengalami kegagalan. Pada tanggal 9 Oktober 1968 Menteri Luar Negeri Singapora menyatakan, bahwa permohonan grasi dua orang Indonesia ditolak oleh Presiden Singapora.
Oleh karenanya Pengadilan Tinggi tetap pada keputusannya menghukum mati dengan gantung Harun dan Usman pada tanggal 17 Oktober 1968 jam 06.00 pagi waktu setempat.
Sebelum maut menjemput dua prajurit yang gagah berani itu. Atase Angkatan Laut untuk Singapora Letkol Gani Jemat SH dipanggil ke Jakarta guna laporan mengenai usaha penyelamatan jiwa Usman dan Harun.
KBRI mohon kepada Pemerintah Singapora agar hukuman gantung tersebut ditunda, agar KBRI dapat menghubungi Pemerintah Rl di Jakarta. Pada tanggal 10 Oktober 1968 Letkol Gani Jemat SH kembali ke Singapora dengan membawa surat Presiden Suharto kepada Presiden Singapora.
Ternyata surat itu tidak disampaikan kepada Presiden Singapora karena sedang sakit. Perdana Menteri Singapora Lee Kwan Yew tidak pula dapat dihubungi karena telah bersiap-siap akan berangkat ke Tokyo.
Karena Presiden dan Perdana Menteri tidak dapat dihubungi, maka diusahakanlah menghubungi Menteri-menteri yang lain, khususnya Menteri Perundang-undangan, Sekretaris tetap Kementerian Pertahanan dan Menteri Luar Negeri Singapora. Surat Presiden Suharto diserahkan kepada Menteri Luar Negeri Singapora. Segala daya ditumpahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan dua orang warga negaranya.
Pada tanggal 15 Oktober Letkol Gani Jemat SH datang di penjara Changi, atas permintaan salah seorang dari terhukum. Kedatangan Letkol Jemat Gani SH hanya untuk mendengarkan, bahwa pada tanggal 14 Oktober telah diputuskan, hukuman gantung Usman dan Harun akan dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober 1968 jam 06.00 pagi. Dua orang prajurit yang gagah berani ini mengajukan permohonan kepada Letkol Gani Jemat SH agar jenazah mereka dibawa pulang ke Indonesia dan agar supaya keluarga mereka diberitahu.
Sebagai usaha terakhir Presiden Suharto mengirim utusan pribadinya Brigjen Cokropranolo (waktu itu Sekmil Presiden) untuk menghubungi pejabat yang berwenang di Singapora, usaha yang terakhir itu pun gagal sama sekali.
Pada jam 06.00 pagi hari tanggal 16 Oktober 1968 Brigjen Cokropranolo dan Letkol Gani Jemat mendatangi penjara Changi untuk menjenguk Usman dan Harun, suasana amat mengharukan sekali. Jam 02.00 menjelang dini hari 17 Oktober 1968, 4 jam sebelum hukuman gantung atas dua prajurit Indonesia dilaksanakan, di KBRI diadakan pertemuan yang dipimpin oleh Kuasa Usaha RI di Singapora A. Rakhman Ramli. Pertemuan itu secara resmi memberitahukan bahwa Pemerintah Singapora menolak permohonan grasi Usman dan Harun, dan segala usaha Pemerintah Rl dan Presiden Suharto tidak berhasil.
Suasana hening mengharukan, semua pikiran melayang kepada dua orang prajurit Indonesia yang gagah berani dan kini berada di penjara Changi menantikan saat pelaksanaan hukuman gantungnya sebagai tanda bukti kesetiaannya membela tanah air dan bangsa.
Betapa tabahnya kedua mereka menghadapi maut sebagai akibat sumpah prajuritnya, dapat diketahui dari surat Djanatin alias Usman bin H. Moh. Ali kepada keluarganya yang berbunyi antara lain sebagai berikut: ”Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan dengan nasib dinda dalam rayuan memohon ampun kepada Pemerintah Singapora tidak dapat dikabulkan, maka perlu anakanda mengaturkan berita duka ke pangkuan Bunda keluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati atas anakanda telah diputuskan pada tanggal 17 Oktober 1968 hari Kamis 24 Rajab 1388”.
Harun bin Said alias Tahir yang bernasib sama-pun menulis kepada keluarganya, antara lain berbunyi: ”Bersama ini adindamu menyampaikan berita yang sangat mengharukan seisi kaum keluarga di sana itu ialah pada 14-10-1968 jam 10.00 pagi waktu Singapora rayuan adinda tetap akan menerima hukuman gantung sampai mati.”
Puncak ketabahan dua prajurit yang bersifat satria dalam arti kata luas itu dikatakan oleh dokter penjara Changi yang menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung mereka dengan mengatakan :
”…. kedua mereka sewaktu menghadapi tiang gantungan membuktikan ketangguhan mental mereka. Sedikit pun tidak tampak gentar. Mereka dengan tenang menuju ke tiang gantungan. Mengagumkan sekali akan ketinggian moril kedua prajurit itu.”
Tahun 1968 jam 06.00 pagi waktu setempat. Pada tanggal 17 Oktober 1968 jam 06.07 pagi KBRI Singapora menelpon penjara Changi dan mendapat keterangan, bahwa hukuman mati atas Harun dan Usman telah dilaksanakan.
Dari Jakarta dikirimkan sebuah pesawat terbang khusus untuk rnenjemput dua jenazah pahlawan kita, Usman dan Harun. Pesawat udara itu meninggalkan Pangkalan Udara Changi jam 14.45. Turut di dalam pesawat itu Brigjen Cokropranolo dan Kuasa Indonesia Kolonel A. Rakhman Ramli. Di lapangan terbang Kemayoran jenazah Usman dan Harun disambut dengan upacara militer.
Keadaan di Kemayoran itu penuh haru dan air mata bercucuran, terutama para keluarga dan handai taulan dua orang korban. Malam harinya dua jenazah disemayamkan di Aula Staf Hankam dan pagi harinya dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Djanatin alias Usman bin H. Moh. Ali asal Desa Jatisaba, Purbalingga, Banyumas, Jawa Tengah dan Harun bin Said alias Tahir asal Desa Diponggo Pulau Bawean telah gugur sebagai Kusuma Bangsa.
Pemerintah Rl menghargai jasa-jasanya dengan menaikkan pangkat mereka :
1. Djanatin bin H. Moh. Said alias Usman menjadi Sersan Anumerta KKO AL; dan
2. Harun bin Said alias Tahir naik menjadi Kopral Anumerta KKO AL.
Dengan SK Presiden No. 50/TK/Tahun 1968 tertanggal 17 Oktober 1968 mereka berdua memperoleh gelar Pahlawan.
Djanatin dan Harun sudah digembleng dalam latihan-latihan AL dan bersedia melaksanakan tugas suci sebagai sukarelawan ”Konfrontasi Malaysia” memenuhi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Dwikora itu berbunyi sebagai berikut :
- Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
- Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapora, Sabah, Serawak, Brunei untuk membubarkan negara boneka Malaysia.
Jelaslah bahwa sasaran utamanya membubarkan negara boneka Malaysia.
Yang dimaksud dengan negara boneka, Malaysia bukanlah negara Malaysia yang sekarang ini. Pada waktu itu pembentukan negara Malaysia sedang dalam pertumbuhan yang ditentang oleh sebagian rakyatnya sendiri. Sebagian dari rakyat Brunei memberontak pada tanggal 8 Desember 1962. Pemberontakan itu dipimpin oleh Azhari bin Sheik Mahmud Ashari dari Partai Rakyat Brunei. Tujuannya membentuk Negara Kalimantan Utara dengan daerahnya yang meliputi jajahan Inggris di Kalimantan Utara.
Waktu itu negara Malaysia bernama Persekutuan (Federasi) Tanah Melayu dibawah pimpinan Perdana Menteri Teungku Abdurakhman. Federasi itu meliputi daerah-daerah Malaya, Singapora, Serawak, Brunei dan Sabah. Maksudnya untuk mewujudkan persatuan bangsa Melayu, mengadakan kerjasama di bidang politik dan ekonomi, memperbaiki perimbangan penduduk sehingga golongan Cina tidak lagi merupakan mayoritas dan membendung arus komunisme.
Dunia internasional terbagi antara yang setuju dan yang tidak setuju kepada pembentukan Federasi Malaysia, yang menyetujui ialah: 1. Amerika Serikat; 2. Inggris; 3. PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) yang mencari penyelesaian yang ideal dan obyektip; 4. India; 5. Jepang; dan 6. RPA (Mesir). Persetujuan negara-negara itu dengan alasan masing-masing, tidak seluruhnya sama alasannya.
Yang tidak setuju, ialah: 1. Irak; 2. RRC; 3. Burma; 4. Korea; dan 5. Vietnam Utara, alasannya-pun berbeda satu dengan lainnya.
Indonesia pada mulanya menyetujui pembentukan Federasi itu apabila hal itu memang dikehendaki rakyat yang bersangkutan serta tidak membahayakan integrasi Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya Indonesia berbalik menentang Federasi Malaysia karena menganggap, bahwa Federasi Malaysia itu proyek Neo Kolonialisme Inggris yang membahayakan bagi revolusi Indonesia. Dalam hal pemberontakan rakyat di Brunei yang akan membentuk Negara Kalimantan Utara, Indonesia justru memberikan dukungan dan akan memberikan bantuan di segala bidang.
Atas dasar pendirian itu maka Indonesia mengumumkan ”Konfrontasi” dengan Federasi Malaysia dan lahirlah Dwikora tersebut. Pelaksanaannya antara lain memanggil sukarelawan dari berbagai bagian ABRI.
Menurut surat perintah KKO tanggal 27 Agustus 1964 Kopral Usman dan Prako II Harun dimasukkan dalam Tim Brahmana I dibawah pimpinan Kapten KKO Paulus Subekti yang pada waktu itu menyamar sebagai Letnan Kolonel KKO dan merangkap menjadi Komandan Basia X yang berpangkalan di Pulau Sambu, Riau. Di Pulau Sambu inilah Kopral KKO Djanatin alias Usman bin H. Moh. Ali bertemu dengan Prako II Harun bin H. Said alias Tahir, mereka berdua bertemu pula dengan Gani bin Arup.
Setelah beberapa waktu di Pulau Sambu, mereka bertiga mendapat perintah untuk menyusup ke daratan Singapora, tugas mereka ialah untuk mengadakan sabotase.
Pada tanggal 8 Maret 1965 mereka bertiga berangkat dengan bekal 12,5 kg bahan peledak. Mereka berangkat di malam hari, pada waktu gelombang Selat Malaka tidak begitu besar. Sasaran mereka tidak ditentukan secara pasti, sasaran itu diserahkan kepada mereka bertiga untuk yang dapat menggoyahkan kepercayaan umum kepada Pemerintah Singapora, bagian dari Federasi Malaysia.
Tiga sabotir itu naik kapal karet, tiap kali mereka mengira ada bahaya patroli perairan, maka mereka lalu turun dari kapal dan bergantungan pada kapal itu dengan seluruh tubuhnya di dalam air. Perjalanan yang berat itu waktu menjelang pagi 9 Maret 1965 dapat berhasil mencapai daratan dan masuk Singapora. Pendaratannya di Singapora itu adalah yang ketiga kalinya. Sebelumnya, khusus untuk penyelidikan, mereka sudah dua kali ke Singapora. Dengan demikian mereka dapat mengadakan perhitungan efektif akan akibat dari sabotase yang akan dilakukannya.
Penjagaan keamanan sudah barang tentu amat kuat dan ketat, namun 3 orang sukarelawan itu cukup gesit dan mampu menghindarkan sergapan musuh. Siang itu mereka berpisah satu sama lain untuk melakukan orientasi sedalam-dalamnya. Malam harinya mereka berkumpul kembali di satu tempat yang ditetapkan. Kesimpulan dari hasil orientasinya ialah, bahwa obyek-obyek militer amat ketat penjagaannya dan sulit sekali didekati. Mereka lalu memutuskan untuk melakukan sabotase pada obyek non militer, namun cukup akan menyebabkan
masyarakat menjadi panik hingga timbul kesan pemerintah tidak dapat menjamin keamanan masyarakat. Sasaran yang ditetapkan ialah Hotel Mr. Mc. Donald house di Orchard Road, sebuah hotel di tengah-tengah kota yang ramai dikunjungi orang dan di sekitarnya banyak toko-toko besar.
Di tengah malam buta, di waktu kota Singapora berangsur-angsur makin sepi, mereka menuju sasaran. Mereka mendekati Hotel besar tersebut tanpa menimbulkan suatu kecurigaan, dan berhasil menempatkan bahan peledaknya di sana. Setelah selesai memasang bahan peledak itu, mereka berpisah lagi satu sama lain.
Keesokan harinya terjadilah peledakan hebat di bangunan Hotel Mc. Donal House di Orchard Road dengan dahsyat. Tiga orang tewas seketika, sejumlah orang luka berat dan ringan, sebagian dari bangunan hotel itu hancur, toko-toko dan mobil-mobil yang ada di sekitar hotel tersebut hancur.
Sabotase itu telah mencapai efek yang dimaksudkan, masyarakat Singapore menjadi gelisah dan menimbulkan kegoyahan kepercayaan kepada pemerintahnya.
Kalangan yang bertanggung-jawab keamanan resah gelisah, segera dilakukan penyelidikan di seluruh Singapora dan pengamanan yang amat ketat sekali, pekerjaan pengamanan dilakukan dengan cermat sekali sehingga sulit orang akan lolos dari jaringan pengamanan.
Pada hari itu juga, 10 Maret 1965, ketiga sabotir itu berkumpul dan memutuskan akan kembali ke pangkalan mereka di Pulau Sambu. Usman dan Harun bersama-sama Gani memisahkan diri. Mereka mencari dan harus menemukan jalan dan caranya sendiri-sendiri.
Usman dan Harun segera menuju ke pelabuhan Singapora, mereka berhasil naik dalam kapal ”Begama” dan menyamar sebagai pelayan dapur. Dua hari lamanya mereka bersembunyi di kapal itu, tetapi pada malam hari 12 Maret 1965 penyamarannya diketahui oleh pemilik kapal, mereka diusir dengan ancaman, kalau tak mau pergi akan dilaporkan kepada yang wajib.
Usman dan harun meninggalkan kapal ”Begama” pada tanggal 13 Maret 1965 dan mencari kapal lain, tetapi tidak berhasil. Sedang mereka berusaha mencari kapal yang dapat menyelamatkan dirinya, tiba-tiba mereka melihat sebuah motor-boat yang dikemudikan oleh seorang Cina, tak ada jalan lain bagi kedua mereka itu kecuali harus merebut motor-boat itu. Dengan menumpahkan segala keberanian dan kenekatannya mereka merebut motor-boat dan segera melaju menuju Pulau Sambu.
Namun nasib tak menguntungkan dua orang sukarelawan Indonesia itu. Di tengah lautan motor-boat itu macet hingga patroli perairan Singapora datang menjemput mereka. Pada tangal 13 Maret 1965 jam 09.00 pagi Usman dan Harun ditangkap kemudian ditahan untuk menunggu perkaranya diajukan ke muka pengadilan.
Kurang lebih 6 bulan lamanya mereka meringkuk dalam tahanan. Dengan tabah mereka menunggu perkaranya diadili. Sementara itu di tanah air terjadi Pemberontakan G-30-S/PKI pada tanggal 30 September 1965.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 di saat Pemerintah RI telah dipimpin oleh Presiden Suharto, Usman bin H. Moh Ali dan Harun bin Said diajukan ke Pengadilan Tinggi (High Court) Singapore dengan tuduhan telah melanggar ”Internal Security Act” (Undang-undang keamanan dalam negeri) dan dituntut berdasarkan ”Emergency Regulations 1964” (Criminal trials), perbuatan kriminal.Pada tanggal 20 Oktober 1965 Usman dan Harun dijatuhi hukuman mati.
Kedua terdakwa tersebut dibela oleh ahli hukum Singapora. T.T. Rayah dengan biaya Pemerintah RI. Segala usaha dilakukan oleh pembela agar kedua tertuduh diperlakukan sebagai tawanan perang, tetapi ditolak oleh pengadilan.
Oleh karenanya Usman dan Harun diadili sebagai penjahat biasa. Pengadilan Tinggi tersebut memutuskan bahwa pelaksanaan hukuman mati kedua orang pemuda Indonesia tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1968.
Pada tanggal 6 Juni 1966 mereka naik banding ke Pengadilan Federal (Malaysia). Pada waktu itu Singapora masih bagian dari Federasi Malaysia. Permohonan naik banding itu ditolak pada tanggal 5 Oktober 1966. Kemudian, pada tanggal 17 Pebruari 1967 perkara tersebut diajukan ke ’Prici Council’ di London, namun usaha penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu pun gagal pula. Surat penolakannya datang pada tanggal 1 Mei 1968.
Setelah usaha naik banding tidak berhasil, maka ditempuhlah usaha hukum terakhir, yakni mohon grasi kepada Presiden Singapora Yusuf bin Ishak. Permohonan grasi diajukan pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu dilakukan usaha lewat diplomasi. Kedubes RI di Singapora diperintahkan menggunakan segala daya upaya yang mungkin menyelamatkan dua orang prajurit kita itu.
Menteri Luar Negeri RI H. Adam Malik menghubungi Menteri Luar Negeri Singapora. namun usaha ini pun mengalami kegagalan. Pada tanggal 9 Oktober 1968 Menteri Luar Negeri Singapora menyatakan, bahwa permohonan grasi dua orang Indonesia ditolak oleh Presiden Singapora.
Oleh karenanya Pengadilan Tinggi tetap pada keputusannya menghukum mati dengan gantung Harun dan Usman pada tanggal 17 Oktober 1968 jam 06.00 pagi waktu setempat.
Sebelum maut menjemput dua prajurit yang gagah berani itu. Atase Angkatan Laut untuk Singapora Letkol Gani Jemat SH dipanggil ke Jakarta guna laporan mengenai usaha penyelamatan jiwa Usman dan Harun.
KBRI mohon kepada Pemerintah Singapora agar hukuman gantung tersebut ditunda, agar KBRI dapat menghubungi Pemerintah Rl di Jakarta. Pada tanggal 10 Oktober 1968 Letkol Gani Jemat SH kembali ke Singapora dengan membawa surat Presiden Suharto kepada Presiden Singapora.
Ternyata surat itu tidak disampaikan kepada Presiden Singapora karena sedang sakit. Perdana Menteri Singapora Lee Kwan Yew tidak pula dapat dihubungi karena telah bersiap-siap akan berangkat ke Tokyo.
Karena Presiden dan Perdana Menteri tidak dapat dihubungi, maka diusahakanlah menghubungi Menteri-menteri yang lain, khususnya Menteri Perundang-undangan, Sekretaris tetap Kementerian Pertahanan dan Menteri Luar Negeri Singapora. Surat Presiden Suharto diserahkan kepada Menteri Luar Negeri Singapora. Segala daya ditumpahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan dua orang warga negaranya.
Pada tanggal 15 Oktober Letkol Gani Jemat SH datang di penjara Changi, atas permintaan salah seorang dari terhukum. Kedatangan Letkol Jemat Gani SH hanya untuk mendengarkan, bahwa pada tanggal 14 Oktober telah diputuskan, hukuman gantung Usman dan Harun akan dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober 1968 jam 06.00 pagi. Dua orang prajurit yang gagah berani ini mengajukan permohonan kepada Letkol Gani Jemat SH agar jenazah mereka dibawa pulang ke Indonesia dan agar supaya keluarga mereka diberitahu.
Sebagai usaha terakhir Presiden Suharto mengirim utusan pribadinya Brigjen Cokropranolo (waktu itu Sekmil Presiden) untuk menghubungi pejabat yang berwenang di Singapora, usaha yang terakhir itu pun gagal sama sekali.
Pada jam 06.00 pagi hari tanggal 16 Oktober 1968 Brigjen Cokropranolo dan Letkol Gani Jemat mendatangi penjara Changi untuk menjenguk Usman dan Harun, suasana amat mengharukan sekali. Jam 02.00 menjelang dini hari 17 Oktober 1968, 4 jam sebelum hukuman gantung atas dua prajurit Indonesia dilaksanakan, di KBRI diadakan pertemuan yang dipimpin oleh Kuasa Usaha RI di Singapora A. Rakhman Ramli. Pertemuan itu secara resmi memberitahukan bahwa Pemerintah Singapora menolak permohonan grasi Usman dan Harun, dan segala usaha Pemerintah Rl dan Presiden Suharto tidak berhasil.
Suasana hening mengharukan, semua pikiran melayang kepada dua orang prajurit Indonesia yang gagah berani dan kini berada di penjara Changi menantikan saat pelaksanaan hukuman gantungnya sebagai tanda bukti kesetiaannya membela tanah air dan bangsa.
Betapa tabahnya kedua mereka menghadapi maut sebagai akibat sumpah prajuritnya, dapat diketahui dari surat Djanatin alias Usman bin H. Moh. Ali kepada keluarganya yang berbunyi antara lain sebagai berikut: ”Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan dengan nasib dinda dalam rayuan memohon ampun kepada Pemerintah Singapora tidak dapat dikabulkan, maka perlu anakanda mengaturkan berita duka ke pangkuan Bunda keluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati atas anakanda telah diputuskan pada tanggal 17 Oktober 1968 hari Kamis 24 Rajab 1388”.
Harun bin Said alias Tahir yang bernasib sama-pun menulis kepada keluarganya, antara lain berbunyi: ”Bersama ini adindamu menyampaikan berita yang sangat mengharukan seisi kaum keluarga di sana itu ialah pada 14-10-1968 jam 10.00 pagi waktu Singapora rayuan adinda tetap akan menerima hukuman gantung sampai mati.”
Puncak ketabahan dua prajurit yang bersifat satria dalam arti kata luas itu dikatakan oleh dokter penjara Changi yang menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung mereka dengan mengatakan :
”…. kedua mereka sewaktu menghadapi tiang gantungan membuktikan ketangguhan mental mereka. Sedikit pun tidak tampak gentar. Mereka dengan tenang menuju ke tiang gantungan. Mengagumkan sekali akan ketinggian moril kedua prajurit itu.”
Tahun 1968 jam 06.00 pagi waktu setempat. Pada tanggal 17 Oktober 1968 jam 06.07 pagi KBRI Singapora menelpon penjara Changi dan mendapat keterangan, bahwa hukuman mati atas Harun dan Usman telah dilaksanakan.
Dari Jakarta dikirimkan sebuah pesawat terbang khusus untuk rnenjemput dua jenazah pahlawan kita, Usman dan Harun. Pesawat udara itu meninggalkan Pangkalan Udara Changi jam 14.45. Turut di dalam pesawat itu Brigjen Cokropranolo dan Kuasa Indonesia Kolonel A. Rakhman Ramli. Di lapangan terbang Kemayoran jenazah Usman dan Harun disambut dengan upacara militer.
Keadaan di Kemayoran itu penuh haru dan air mata bercucuran, terutama para keluarga dan handai taulan dua orang korban. Malam harinya dua jenazah disemayamkan di Aula Staf Hankam dan pagi harinya dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Djanatin alias Usman bin H. Moh. Ali asal Desa Jatisaba, Purbalingga, Banyumas, Jawa Tengah dan Harun bin Said alias Tahir asal Desa Diponggo Pulau Bawean telah gugur sebagai Kusuma Bangsa.
Pemerintah Rl menghargai jasa-jasanya dengan menaikkan pangkat mereka :
1. Djanatin bin H. Moh. Said alias Usman menjadi Sersan Anumerta KKO AL; dan
2. Harun bin Said alias Tahir naik menjadi Kopral Anumerta KKO AL.
Dengan SK Presiden No. 50/TK/Tahun 1968 tertanggal 17 Oktober 1968 mereka berdua memperoleh gelar Pahlawan.