Serda.KKO. Anm.Djanatin Alias Osman Bin H. Mohammad Ali

Skripsi
0
Usman bin H Ali Hasan dan Harun bin Said bukan orang sembarangan. Keduanya  anggota Korps Komando Operasi (KKO), kini disebut ‘Marinir’ berpangkat sersan dua dan kopral. Penyematan nama Usman Harun tak lepas dari bobot pengabdian dan pengorbanan keduanya hingga mendapat gelar pahlawan.

Usman Bin Haji Ali alias Djanatin sebagai prajurit pemberani yang menyusup ke Singapura bersama rekannya, Harun alias Tohir Bin Mahdar. Mereka berdua berhasil meletakkan bom di pusat kota Singapura.
Harun baru tiga bulan menjadi anggota KKO ketika Presiden RI pertama Soekarno menggelorakan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964. Dwikora digaungkan menyusul pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia pada 17 September 1963 setelah sehari sebelumnya Inggris membentuk negara federasi Malaysia yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah. Soekarno menganggap ini sebagai bentuk neokolonialisme dan dikhawatirkan mengganggu jalannya revolusi Indonesia.
Tahun 1965, Harun dan Usman mendapat misi rahasia dari negara: menyusup ke Singapura dan meledakkan bom di jantung negeri itu. Saat itu, Indonesia tengah terlibat konfrontasi dengan Malaysia, dan Singapura masih menjadi bagian negeri jiran.
Bersama Usman dan Gani bin Arup, 10 Maret 1965, Harun  berhasil menembus pertahanan negeri itu. Target mereka adalah MacDonald House di Jalan Orchad Road. Gedung berlantai 10 ini merupakan kantor Hongkong and Shanghai Bank. Saat itu, hujan turun sangat deras dengan petir yang sambar menyambar. Mereka lalu meletakkan bom di dekat lift.
Tujuh menit setelah layanan bank tutup, tepatnya pukul 15.07 waktu setempat, bom meledak menewaskan tiga orang,  sedangkan 33 orang terluka parah. Ledakan dahsyat itu merobek pintu lift dan menghancurkan gedung tersebut. Reruntuhan tembok menimpa 150 karyawan bank yang sedang menyelesaikan tugasnya. Meja, kursi dan mesin ketik terpental hingga ke jalan.
Setelah menyelesaikan misi, Usman dan Harun berusaha keluar Singapura. Mereka mencoba menumpang kapal-kapal dagang yang hendak meninggalkan Singapura, namun tidak berhasil.
Pemerintah Singapura mengerahkan seluruh armadanya untuk memblokade Selat Malaka. Usman dan harun dikepung, hampir tidak ada kesempatan untuk kabur. Kemudian, Usman dan Harun mengambil alih kapal motor. Malang, di tengah laut kapal tersebut mogok. Mereka tidak bisa lari dan ditangkap oleh petugas patroli Singapura.
Keduanya dijebloskan ke penjara. Hakim mengganjar mereka dengan hukuman gantung atas kasus pembunuhan, penggunaan bahan peledak, dan melakukan tindakan terorisme. Pemerintah Indonesia mencoba banding dan mengupayakan semua bantuan hukum dan diplomasi. Semua upaya itu buntu karena ditolak Singapura.
Akhirnya pada hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968, keduanya dikeluarkan dari sel mereka. Dengan tangan terborgol, dua prajurit itu dibawa ke tiang gantung di dalam penjara Changi, Singapura. Tepat pukul 06.00 pagi waktu setempat, keduanya gugur di tiang gantung.
Pada hari yang sama Presiden Soeharto langsung memberikan gelar pahlawan nasional bagi keduanya. Sebuah Hercules diterbangkan untuk menjemput jenazah keduanya. Pangkat mereka dinaikkan satu tingkat secara anumerta. Mereka juga mendapat bintang sakti, penghargaan paling tinggi di republik ini. Setelah tiba di Jakarta, ratusan ribu orang mengiringi jenazah mereka dari Kemayoran, Markas Hankam, hingga Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Post a Comment

0Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !