Sugiono dilahirkan tanggal 12 Agustus 1926 di desa Gedaran, Gunung Kidul Yogyakarta. la adalah anak kesebelas di antara empat belas orang bersaudara. Ayahnya bernama Kasan Sumitrorejo, seorang petani yang juga merangkap menjadi Kepala Desa Gedaran.
Keluarga Kasan sebenarnya keluarga Islam, tetapi Sugiono kelak menjadi pemeluk Protestan. Pendidikan umum tertinggi yang sempat diikuti Sugiono ialah Sekolah Guru di Wonosari. Setelah selesai, Ia tidak memilih pekerjaan guru sebagai profesinya. Mungkin disebabkan oleh situasi pada masa penjajahan Jepang, maka Sugiono lebih tertarik untuk menjadi seorang militer. Demikianlah Ia mengikuti pendidikan tentara Peta (Pembela tanah Air). Setelah selesai, Ia diangkat sebagai Budanco (Komandan Peleton) di Wonosari.
Karir militer tetap dilanjutkannya setelah kemerdekaan Indonesia di proklamasikan. Pada waktu pemerintah mengumumkan pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat), Sugiono mendaftarkan diri sebagai anggota BKR. Pada mulanya ia diangkat sebagai Komandan Seksi BKR Yogyakarta. BKR kemudian ditranformasikan ke dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945. Dengan pangkat letnan dua, Sugiono diangkat menjadi Komandan Seksi I Kompi 2 Batalyon 10 Resimen 3 di Yogyakarta. Setahun kemudian Ia diangkat sebagai ajudan Komandan Batalyon 30 Resimen 22, dan dalam bulan Februari 1947 ia diangkat sebagai ajudan Komandan Brigade 10 Divisi III, Letnan Kolonel Suharto. Dua tahun kemudian Ia dipercayai memegang jabatan baru yakni sebagai Perwira Operasi Brigade C di Yogyakarta.
Sesudah Perang Kemerdekaan ia diangkat menjadi Komandan Kompi 4 Batalyon 411 Brigade C, berkedudukan di Purworejo.
Kenaikan pangkat menjadi kapten diperolehnya dalam tahun 1955. Sesudah itu ia ditugaskan di Magelang pada Batalyon 436, dan pada tahun 1958 diangkat menjadi Wakil Komandan Batalyon 441 di Semarang. Jabatan sebagai Komandan Batalyon 441 /Banteng Raiders 111 dipegangnya sejak bulan Mei 1961. Sebelum itu pangkatnya sudah naik menjadi Mayor.
Karir militernya terus menanjak. Dari jabatan Komandan Batalyon ia diserahi tugas sebagai Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 0718 di Pati dan kemudian sebagai Komandan Kodim di Yogyakarta. Di sini kesatuannya merupakan bagian dari Komando Resort Militer (Korem) 072 yang dipimpin oleh Kolonel Katamso. Selain itu Sugiono juga merangkap sebagai Pejabat Sementara Kepala Staf Korem 072, kedua jabatan itu tetap dipegangnya sampai akhir hayatnya.
Jabatan sebagai Komandan Kodim Yogyakarta dipangkunya beberapa bulan sebelum terjadinya pemberontakan Gerakan 30 September/ PKI (G-30-S/PKI). Sebelum itu, mulai Januari 1963, pangkatnya sudah dinaikkan menjadi Letnan Kolonel.
Pada waktu Sugiyono memangku jabatannya sebagai Komandan Kodim Yogyakarta, PKI sudah mulai memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang kelak akan menjurus ke arah perebutan kekuasaan negara. Intimidasi-intimidasi terhadap golongan-golongan yang tidak disenangi, sering mereka lakukan, akibatnya ketenteraman dalam kota terganggu. Adalah tanggung jawab Sugiono untuk memelihara keamanan tersebut. Dalam hal ini Ia berhasil menumbuhkan kepercayaan dari Komandan Korem 072, Kolonel Katamso. Keduanya adalah perwira yang tidak menyukai PKI. Mereka cukup mengetahui bahwa apabila PKI berkuasa, maka Pancasila sebagai ideologi negara akan diganti dengan ideologi komunis.
Bersama dengan Kolonel Katamso, Sugiono berusaha sedapat mungkin melakukan pembinaan teritorial. Ia melakukan pendekatan-pendekatan yang akrab dengan masyarakat, juga dengan para mahasiswa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Sugiono dinilai oleh PKI sebagai menghalangi kegiatan mereka. Karena itulah Sugiono termasuk salah seorang perwira Angkatan Darat yang harus mereka singkirkan.
Dinihari tanggal 1 Oktober 1965 Letnan Kolonel Sugiono berangkat ke Pekalongan untuk sesuatu keperluan, Ia kembali ke Yogyakarta pada hari itu juga dengan terlebih dahulu singgah di Semarang. Sugiono merasakan perubahan situasi di Semarang, tetapi ia tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu, bahwa pada tangal 1 Oktober 1965 itu di Jakarta telah terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh PKI. RRI Jakarta yang telah dikuasai PKI menyiarkan berita tentang pembentukan Dewan Revolusi. Di Semarang, kekuasaan Kodam VII diambil alih oleh perwira yang sudah di pengaruhi PKI.
Karena merasakan adanya perubahan situasi di Semarang, Sugiono segera berangkat ke Yogyakarta. Sebagai Komandan Kodim ia harus berada di tempat bila terjadi situasi yang gawat. Dalam perjalanan ke Yogya Ia berpapasan dengan Panglima Daerah Militer (Pangdam) Vll Brigjen Suryosumpeno di Bawen, suatu tempat antara Ambarawa dan Magelang. Sugiono melaporkan apa yang dirasakannya di Semarang. Ia menyarankan agar Suryosumpeno tidak meneruskan perjalanan ke Semarang.
Sementara itu di Yogyakarta, Mayor Mulyono, seorang perwira staf Korem 072, telah memulai gerakan yang mendukung pemberontakan. Dalam usahanya merebut kekuasaan di Yogyakarta, Mulyono membagi-bagikan senjata kepada anggota-anggota PKI. Keadaan kota sejak siang itu dalam keadaan tegang. Markas Korem telah diambil alih oleh Mulyono. Pada waktu itu Komandan Korem sedang bertugas ke Magelang, sedangkan Komandan Kodim ke Pekalongan. Kolonel Katamso yang baru saja kembali dari Magelang diculik oleh anak buah Mulyono.
Perkembangan itu tidak diketahui oleh Letnan Kolonel Sugiono ketika ia tiba kembali di Yogyakarta pukul 18.00 tanggal 1 Oktober 1965. Dipengaruhi oleh situasi yang dilihatnya di Semarang, ia langsung menuju rumah Kolonel Katamso. Pada waktu itulah ia mengetahui bahwa Kolonel Katamso sudah diculik. Sugiono segera berangkat ke Markas Korem dengan maksud menyusun kekuatan. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa markas itu sudah dikuasai oleh gerombolan pemberontak. Tanpa disadarinya, ia sudah masuk perangkap.
Di Markas Korem Ia bertemu dengan Kapten Sudibyo dan Kapten Sukarman. Kepada kedua perwira ini diberitahukannya apa yang dirasakannya di Semarang dan tentang pertemuannya dengan Pagdam Vll di Bawen. Sesudah ini diperintahkannya memanggil Mayor Kartowi dan Mayor Mulyono, karena ia ingin mengadakan rapat untuk membahas situasi, tetapi Mayor Mulyono tidak ada di tempat, sedangkan Mayor Kartowi ada di ruang piket di depan markas.
Sementara itu anak buah Mulyono mulai menjalankan aksinya. Beberapa orang masuk ke kamar Sugiono, Kapten Sudibyo yang melihat gelagat yang mencurigakan itu, bersembunyi. Dari jarak beberapa meter ia menyaksikan Letnan Kolonel Sugiono digiring oleh anak buah Mulyono di bawah ancaman senjata, Sugiono dinaikkan ke atas mobil jes dan dibawa ke Kentungan. Ke tempat itu satu jam sebelumnya mereka membawa Kolonel Katamso.
Mula-mula Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono ditahan di markas Batalyon Letnan di Kentungan. Mereka dijaga dengan pengawalan ketat. Rencana untuk membunuh kedua perwira itu sudah disusun oleh golongan pemberontak. Seorang anggota Batalyon Letnan diberi tugas membunuh Kolonel Katamso dan seorang lagi bertugas membunuh Letnan Kolonel Sugiono.
Pukul 02.00 tanggal 2 Oktober 1965 kuburan untuk kedua perwira itu sudah selesai digali di kompleks asrama Batalyon Letnan di Kentungan. Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono dikeluarkan dari tempat tahanan, yang mula-mula dibawa adalah Letnan Kolonel Sugiono dengan mobil jes. Sampai di tempat tujuan, ia disuruh turun dari mobil. Pada waktu itulah kepalanya dipukul dengan kunci mortir 8 dari belakang. Pada pukulan pertama Sugiono belum jatuh. Sesudah anggota pembunuh memukulnya lagi dan jatuhlah ia dan akhirnya tewas. Sebelum dipukul, Sugiono mencoba melakukan perlawanan untuk membebaskan diri, namun sia-sia.
Mayat Sugiono kemudian dimasukkan ke dalam lubang yang sudah tersedia. Kuburan itu baru ditemukan tanggal 21 Oktober 1965 setelah dilakukan pencarian yang intensif. Dalam lubang itu ditemukan pula mayat Kolonel Katamso. Kedua perwira itu berpakaian lengkap. Kedua mayat sudah dalam keadaan rusak. Esok harinya tanggal 22 Oktober 1965 Jenazah mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara. Yogyakarta.
Pemerintah menghargai jasa dan perjuangan Letnan Kolonel Sugiyono terhadap bangsa dan negara, terutama perjuangan untuk mempertahankan Pancasila Dasar Negara. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Rl No. 118/ Koti tanggal 19 Oktober 1965, Letnan Kolonel Sugiono Mangunwiyoto ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi kolonel. Ia meninggalkan seorang isteri dan tujuh orang anak, enam orang laki-laki dan seorang wanita. Istrinya bernama Supriyati. Adapun nama anak-anak itu adalah R. Erry Gutomo, Agung Pramuji, Harjo Guritno, Dani Nugroho, Budi Winoto, Ganis Priyono dan Sugijarti Pakarina.
Keluarga Kasan sebenarnya keluarga Islam, tetapi Sugiono kelak menjadi pemeluk Protestan. Pendidikan umum tertinggi yang sempat diikuti Sugiono ialah Sekolah Guru di Wonosari. Setelah selesai, Ia tidak memilih pekerjaan guru sebagai profesinya. Mungkin disebabkan oleh situasi pada masa penjajahan Jepang, maka Sugiono lebih tertarik untuk menjadi seorang militer. Demikianlah Ia mengikuti pendidikan tentara Peta (Pembela tanah Air). Setelah selesai, Ia diangkat sebagai Budanco (Komandan Peleton) di Wonosari.
Karir militer tetap dilanjutkannya setelah kemerdekaan Indonesia di proklamasikan. Pada waktu pemerintah mengumumkan pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat), Sugiono mendaftarkan diri sebagai anggota BKR. Pada mulanya ia diangkat sebagai Komandan Seksi BKR Yogyakarta. BKR kemudian ditranformasikan ke dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945. Dengan pangkat letnan dua, Sugiono diangkat menjadi Komandan Seksi I Kompi 2 Batalyon 10 Resimen 3 di Yogyakarta. Setahun kemudian Ia diangkat sebagai ajudan Komandan Batalyon 30 Resimen 22, dan dalam bulan Februari 1947 ia diangkat sebagai ajudan Komandan Brigade 10 Divisi III, Letnan Kolonel Suharto. Dua tahun kemudian Ia dipercayai memegang jabatan baru yakni sebagai Perwira Operasi Brigade C di Yogyakarta.
Sesudah Perang Kemerdekaan ia diangkat menjadi Komandan Kompi 4 Batalyon 411 Brigade C, berkedudukan di Purworejo.
Kenaikan pangkat menjadi kapten diperolehnya dalam tahun 1955. Sesudah itu ia ditugaskan di Magelang pada Batalyon 436, dan pada tahun 1958 diangkat menjadi Wakil Komandan Batalyon 441 di Semarang. Jabatan sebagai Komandan Batalyon 441 /Banteng Raiders 111 dipegangnya sejak bulan Mei 1961. Sebelum itu pangkatnya sudah naik menjadi Mayor.
Karir militernya terus menanjak. Dari jabatan Komandan Batalyon ia diserahi tugas sebagai Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 0718 di Pati dan kemudian sebagai Komandan Kodim di Yogyakarta. Di sini kesatuannya merupakan bagian dari Komando Resort Militer (Korem) 072 yang dipimpin oleh Kolonel Katamso. Selain itu Sugiono juga merangkap sebagai Pejabat Sementara Kepala Staf Korem 072, kedua jabatan itu tetap dipegangnya sampai akhir hayatnya.
Jabatan sebagai Komandan Kodim Yogyakarta dipangkunya beberapa bulan sebelum terjadinya pemberontakan Gerakan 30 September/ PKI (G-30-S/PKI). Sebelum itu, mulai Januari 1963, pangkatnya sudah dinaikkan menjadi Letnan Kolonel.
Pada waktu Sugiyono memangku jabatannya sebagai Komandan Kodim Yogyakarta, PKI sudah mulai memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang kelak akan menjurus ke arah perebutan kekuasaan negara. Intimidasi-intimidasi terhadap golongan-golongan yang tidak disenangi, sering mereka lakukan, akibatnya ketenteraman dalam kota terganggu. Adalah tanggung jawab Sugiono untuk memelihara keamanan tersebut. Dalam hal ini Ia berhasil menumbuhkan kepercayaan dari Komandan Korem 072, Kolonel Katamso. Keduanya adalah perwira yang tidak menyukai PKI. Mereka cukup mengetahui bahwa apabila PKI berkuasa, maka Pancasila sebagai ideologi negara akan diganti dengan ideologi komunis.
Bersama dengan Kolonel Katamso, Sugiono berusaha sedapat mungkin melakukan pembinaan teritorial. Ia melakukan pendekatan-pendekatan yang akrab dengan masyarakat, juga dengan para mahasiswa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Sugiono dinilai oleh PKI sebagai menghalangi kegiatan mereka. Karena itulah Sugiono termasuk salah seorang perwira Angkatan Darat yang harus mereka singkirkan.
Dinihari tanggal 1 Oktober 1965 Letnan Kolonel Sugiono berangkat ke Pekalongan untuk sesuatu keperluan, Ia kembali ke Yogyakarta pada hari itu juga dengan terlebih dahulu singgah di Semarang. Sugiono merasakan perubahan situasi di Semarang, tetapi ia tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu, bahwa pada tangal 1 Oktober 1965 itu di Jakarta telah terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh PKI. RRI Jakarta yang telah dikuasai PKI menyiarkan berita tentang pembentukan Dewan Revolusi. Di Semarang, kekuasaan Kodam VII diambil alih oleh perwira yang sudah di pengaruhi PKI.
Karena merasakan adanya perubahan situasi di Semarang, Sugiono segera berangkat ke Yogyakarta. Sebagai Komandan Kodim ia harus berada di tempat bila terjadi situasi yang gawat. Dalam perjalanan ke Yogya Ia berpapasan dengan Panglima Daerah Militer (Pangdam) Vll Brigjen Suryosumpeno di Bawen, suatu tempat antara Ambarawa dan Magelang. Sugiono melaporkan apa yang dirasakannya di Semarang. Ia menyarankan agar Suryosumpeno tidak meneruskan perjalanan ke Semarang.
Sementara itu di Yogyakarta, Mayor Mulyono, seorang perwira staf Korem 072, telah memulai gerakan yang mendukung pemberontakan. Dalam usahanya merebut kekuasaan di Yogyakarta, Mulyono membagi-bagikan senjata kepada anggota-anggota PKI. Keadaan kota sejak siang itu dalam keadaan tegang. Markas Korem telah diambil alih oleh Mulyono. Pada waktu itu Komandan Korem sedang bertugas ke Magelang, sedangkan Komandan Kodim ke Pekalongan. Kolonel Katamso yang baru saja kembali dari Magelang diculik oleh anak buah Mulyono.
Perkembangan itu tidak diketahui oleh Letnan Kolonel Sugiono ketika ia tiba kembali di Yogyakarta pukul 18.00 tanggal 1 Oktober 1965. Dipengaruhi oleh situasi yang dilihatnya di Semarang, ia langsung menuju rumah Kolonel Katamso. Pada waktu itulah ia mengetahui bahwa Kolonel Katamso sudah diculik. Sugiono segera berangkat ke Markas Korem dengan maksud menyusun kekuatan. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa markas itu sudah dikuasai oleh gerombolan pemberontak. Tanpa disadarinya, ia sudah masuk perangkap.
Di Markas Korem Ia bertemu dengan Kapten Sudibyo dan Kapten Sukarman. Kepada kedua perwira ini diberitahukannya apa yang dirasakannya di Semarang dan tentang pertemuannya dengan Pagdam Vll di Bawen. Sesudah ini diperintahkannya memanggil Mayor Kartowi dan Mayor Mulyono, karena ia ingin mengadakan rapat untuk membahas situasi, tetapi Mayor Mulyono tidak ada di tempat, sedangkan Mayor Kartowi ada di ruang piket di depan markas.
Sementara itu anak buah Mulyono mulai menjalankan aksinya. Beberapa orang masuk ke kamar Sugiono, Kapten Sudibyo yang melihat gelagat yang mencurigakan itu, bersembunyi. Dari jarak beberapa meter ia menyaksikan Letnan Kolonel Sugiono digiring oleh anak buah Mulyono di bawah ancaman senjata, Sugiono dinaikkan ke atas mobil jes dan dibawa ke Kentungan. Ke tempat itu satu jam sebelumnya mereka membawa Kolonel Katamso.
Mula-mula Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono ditahan di markas Batalyon Letnan di Kentungan. Mereka dijaga dengan pengawalan ketat. Rencana untuk membunuh kedua perwira itu sudah disusun oleh golongan pemberontak. Seorang anggota Batalyon Letnan diberi tugas membunuh Kolonel Katamso dan seorang lagi bertugas membunuh Letnan Kolonel Sugiono.
Pukul 02.00 tanggal 2 Oktober 1965 kuburan untuk kedua perwira itu sudah selesai digali di kompleks asrama Batalyon Letnan di Kentungan. Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono dikeluarkan dari tempat tahanan, yang mula-mula dibawa adalah Letnan Kolonel Sugiono dengan mobil jes. Sampai di tempat tujuan, ia disuruh turun dari mobil. Pada waktu itulah kepalanya dipukul dengan kunci mortir 8 dari belakang. Pada pukulan pertama Sugiono belum jatuh. Sesudah anggota pembunuh memukulnya lagi dan jatuhlah ia dan akhirnya tewas. Sebelum dipukul, Sugiono mencoba melakukan perlawanan untuk membebaskan diri, namun sia-sia.
Mayat Sugiono kemudian dimasukkan ke dalam lubang yang sudah tersedia. Kuburan itu baru ditemukan tanggal 21 Oktober 1965 setelah dilakukan pencarian yang intensif. Dalam lubang itu ditemukan pula mayat Kolonel Katamso. Kedua perwira itu berpakaian lengkap. Kedua mayat sudah dalam keadaan rusak. Esok harinya tanggal 22 Oktober 1965 Jenazah mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara. Yogyakarta.
Pemerintah menghargai jasa dan perjuangan Letnan Kolonel Sugiyono terhadap bangsa dan negara, terutama perjuangan untuk mempertahankan Pancasila Dasar Negara. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Rl No. 118/ Koti tanggal 19 Oktober 1965, Letnan Kolonel Sugiono Mangunwiyoto ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi kolonel. Ia meninggalkan seorang isteri dan tujuh orang anak, enam orang laki-laki dan seorang wanita. Istrinya bernama Supriyati. Adapun nama anak-anak itu adalah R. Erry Gutomo, Agung Pramuji, Harjo Guritno, Dani Nugroho, Budi Winoto, Ganis Priyono dan Sugijarti Pakarina.