Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo (lahir di Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari 1923 – meninggal di Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 42 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Katamso termasuk tokoh yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.
YogyKatamso Dharmokusumo dilahirkan tanggal 5 Februari 1923 di Sragen, Surakarta Jawa Tengah. Ayahhya bernama Ki Sasrosudarmo, yang mempunyai latar belakang sosial sebagai golongan menengah.
Pendidikan umum tertinggi ditempuh Katamso pada Mulo (Meer liigebreid Lager Onderwijs, Sekolah Menengah Pertama sekarang). la tidak sempat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, sebab setelah selesai dari MULO, Jepang sudah menduduki Indonesia.
Dalam Zaman Jepang Katamso mengikuti pendidikan tentara Peta Pembela Tanah Air) Selesai pendidikan ini Ia diangkat menjadi Budanco (komandan regu) pada Dai II Daidan (Batalyon 2) di Sala. setahun kemudian Desember 1994 pangkat dinaikkan menjadi syodanco (komandan peleton). Ia tetap berkedudukan di Sala.
Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berakhirlah kekuasaan Jepang di Indonesia. Pemerintah RI membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Sejak tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat). BKR yang sudah berdiri sebelumnya ditransformasikan ke dalam TKR. Sebagai seorang pemuda yang sudah mendapat pendidikan militer dan sudah berdinas dalam kesatuan tentara Peta, Katamso pun memasuki BKR dan kemudian TKR. Ia diangkat menjadi Komandan Kompi di Klaten. Jabatan sebagai komandan kompi tetap dipangkunya ketika bulan Oktober 1946 pangkatnya dinaikkan menjadi kapten. Namanya semakin dikenal oleh masyarakat sekitar Klaten, karena sewaktu pasukannya sering melancarkan serangan gerilya mengganggu kedudukan Belanda di dalam kota. Pada waktu itu kompinya dimasukkan ke dalam batalyon 351 Brigade V. Sesudah pengakuan kedaulatan Kompi Katamso dimasukkan ke dalam Batalyon 417 Brigade V Resimen Infanteri 15.
Tahun-tahun pertama sesudah Pengakuan Kedaulatan, keamanan negara sering diganggu oleh golongan pemberontak. Daerah Jawa Tengah dikacau oleh gerombolan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang merupakan bagian dari DI/TII Jawa Barat di bawah pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Tengah, khususnya di daerah Tegal dan Brebes. Gerakan DI dipimpin oleh Amir Fatah, sedangkan di daerah Kebumen dipimpin oleh Mohamad Machfud Rahman. Selain gangguan keamanan yang berasal dari DI/TII ini. Jawa Tengah diganggu pula oleh pemberontakan Batalyon 423 dan Batalyon 426 yang kemudian bergabung dengan DI/TII. Sebagai pasukan yang berdomisili di daerah Jawa Tengah, maka Kompi Katamso pun terlibat dalam usaha penumpasan pemberontakan ini.
Setelah Katamso memperoleh kenaikkan pangkat menjadi mayor dalam tahun 1955, beliau diserahi jabatan sebagai Wakil Komandan Batalyon 441 Resimen Infanteri 13. Dari Batalyon 441 Ia kemudian dipindahkan ke Batalyon 439 dan Batalyon 436. Jabatan lain yang pernah dipangkunya ialah sebagai perwira staf pada Staf Tentorium IV. Dalam tahun 1957 Katamso memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) Angkatan ke-6 di Bandung.
Pada tahun itu negara kembali dirongrong oleh bahaya perpecahan. Di Sumatera dan Sulawesi muncul dewan-dewan daerah yang pada mulanya berjuang untuk pembangunan daerah masing-masing. Tetapi dewan-dewan daerah ini cepat pula dipengaruhi oleh tokoh politik yang tidak puas terhadap kebijaksanaan pemerintah pusat. Dengan memperalat dewan-dewan daerah yang umumnya dipimpin oleh anggota Angkatan Darat. Golongan politisi mendirikan pemerintah tandingan. Dalam bulan Februari 1958 di Padang, Sumatra Barat diproklamasikan pembentukan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Langkah Padang ini segera diikuti oleh Sulawesi Utara dengan memproklamasikan berdirinya Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta). PRRI/Permesta tidak mengakui pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.
Gerakan yang muncul di Sumatra dan Sulawesi Utara itu mengancam kesatuan negara. Karena itulah akhirnya setelah jalan musyawarah gagal pemerintah memutuskan untuk menjalankan operasi militer. Untuk daerah Sumatera dilancarkan operasi gabungan yang disebut Operasi 17 Agustus dibawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Mayor Katamso yang baru saja menyelesaikan pendidikan Seskoad dipercaya untuk memimpin Batalyon A Operasi 17 Agustus. Dalam waktu singkat pusat-pusat PRRI berhasil di kuasai namun disana-sini sisa pasukan PRRI masih mengadakan gangguan keamanan.
Setelah selesai operasi utama. Angkatan Perang melancarkan operasi pembersihan, sementara itu Mayor Katamso, sejak Februari 1959, diangkat sebagai Asisten Operasi Resimen Team Pertempuran (RTP) II Diponegoro. Berkedudukan di Bukittinggi. Pada awal tahun 1959 itu Ia memperoleh kenaikan pangkat menjadi letnan kolonel.
Daerah Sumatra Tengah yang semula merupakan Resimen 4 Tentara dan Tentorium (TT) 1, sesudah pemberontakan PRRI dijadikan Komando Daerah Militer (Kodam) 111/17 Agustus. Wilayah kekuasaannya meliputi Sumatra Barat dan Riau dalam bulan Agustus 1959 Letnan Kolonel Katamso Ia diangkat sebagai Kepala Staf Resimen Riau) Daratan Kodam HI/17 Agustus. Jabatan ini tidak lama dipegangnya, sebab dua bulan kemudian Ia diangkat sebagai Pejabat Kepala Staf Resimen Team Pertempuran 1/Tegas RTP Tegas bertugas memulihkan keamanan di daerah Riau.
Setelah keamanan di Sumatra pulih Katamso ditarik ke Jakarta, Ia diserahi jabatan sebagai perwira diperbantukan pada Asisten III kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Selain itu ia juga diperbantukan sebagai guru pada berbagai pendidikan Angkatan Darat. Kemudian Ia diserahi tugas sebagai Komandan heat Pendidikan dan Infanteri (Pusdikif) Angkatan Darat di Bandung.
Dari Pusdiki Bandung Ia ditarik kembali ke Jawa Tengah setelah sekian lamanya daerah ini ditinggalkannya. Sejak 1 Agustus 1963 Katamso diangkat sebagai perwira diperbantukan pada Kodam VII/Diponegoro. Empat bulan kemudian Ia dilantik sebagai Komandan Resort Militer (Korem) 072 / Pamungkas Kodam VII / Diponegoro. Dalam jabatan yang baru itu ia berkedudukan di Yogyakarta, sedangkan daerah kekuasaannya meliputi Yogyakarta dan Kedu. Bagi Katamso, daerah ini bukan merupakan daerah yang asing.
Sebagai komandan teritorial, Katamso berusaha mendekatkan diri dengan rakyat, la sering muncul dalam pertemuan-pertemuan umum. Karena itu namanya semakin dikenal oleh masyarakat, tetapi juga oleh lawannya, yakni orang-orang PKI yang menilai bahwa Katamso merupakan tokoh yang dapat menghalangi rencana PKI, apalagi jabatan yang dipegang Katamso sangat menentukan, yakni bidang tentorial.
Katamso yang juga menyadari adanya ancaman PKI, berusaha membina masyarakat sebaik-baiknya, ia melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang dalam keadaan sangat parah akibat tekanan ekonomi. Pada waktu memegang jabatan Ketua POMG (Persatuan Orangtua Murid dan Guru) SMA Negeri I (Teladan) Yogyakarta. Katamso berusaha membantu kehidupan para guru. orangtua murid dianjurkannya memberikan sumbangan untuk kepentingan guru-guru, agar mereka dapat memberikan pelajaran sebagaimana mestinya. Berkat adanya saling pengertian yang baik antara Katamso dan para orangtua murid, berhasil diadakan perbaikan bangunan sekolah, bahkan ada pula gedung baru yang dibangun.
Keterbukaan Katamso dengan masyarakat menyebabkan Ia disenangi, tetapi PKI mulai mengawasi gerak-geriknya. Katamso pun menyadari bahwa bahaya PKI semakin mengancam daerah kekuasaannya. Ia tahu bahwa apabila PKI berhasil merebut kekuasaan, maka Pancasila sebagai ideologi negara akan mereka ganti dengan ideologi komunis. Karena itulah Katamso mengadakan berbagai persiapan untuk menghadapi PKI dan berusaha menghalang-halangi kemajuan. Usaha yang dilakukan antara lain ialah memperkuat Resimen Mahasiswa yang masih bersih dari pengaruh PKI. Tindakan yang diambil Katamso mendapat dukungan dari Panglima Daerah Militer (Pangdam) Vll/ Diponegoro. Katamso merencanakan dari Resimen Mahasiswa akan dihasilkan perwira-perwira cadangan. Untuk keperluan itu anggota-anggota Resimen Mahasiswa akan diberi latihan khusus. Sesuai dengan rencananya, maka Katamso secara aktif melakukan penggemblengan.
Latihan militer yang diberikan kepada anggota Resimen Mahasiswa ialah latihan setingkat Kompi. Dengan demikian Katamso mengharapkan sewaktu-waktu diperlukan para mahasiswa ini sudah akan mampu memimpin sebuah kompi. Latihan pertama dilakukan terhadap mahasiswa Yogyakarta, bila ini berhasil latihan yang sama akan dilakukan pula terhadap mahasiswa-mahasiswa lain.
Namun rencananya terhalang oleh pemberontakan PKI Tanggal 1 Oktober 1965. Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta yang sudah di kuasai oleh PKI mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi. Di malam menjelang pemberontakan, PKI sudah memulai gerakannya dan dinihari tanggal 1 Oktober mereka menculik serta membunuh beberapa orang pejabat teras Angkatan Darat sebagai langkah pertama untuk merebut kekuasaan negara.
Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 suasana Yogyakarta kelihatan biasa saja, walaupun sudah ada beberapa pengumuman dari RRI Jakarta. Tetapi semakin siang suasana semakin tak menentu. Di beberapa tempat bermunculan pelakat-pelakat dan selebaran gelap yang bernada menyokong gerakan yang dilancarkan PKI di Jakarta Masyarakat masih bertanya-tanya apa sesungguhnya yang terjadi, mengapa RRl Jakarta mengumumkan adanya Dewan Revolusi.
Pada saat masyarakat kecuali orang-orang PKI masih diliputi keraguan, maka PKI telah menyiapkan rencana untuk merebut kekuasaan di Yogyakarta. Untuk memudahkan perebutan kekuasaan itu, sasaran pertama mereka ialah membunuh Kolonel Katamso.
Sore hari tanggal 1 Oktober 1965 Kolonel Katamso baru saja kembali dari Magelang Ia sudah mendengar berita tentang Dewan Revolusi. Setibanya di Yogya kepadanya disodorkan sebuah pertanyaan yang harus ditandatanganinya yang isinya mendukung Dewan Revolusi. Dengan tegas pernyataan itu ditolaknya. Sesudah itu Ia memanggil perwira stafnya untuk mengadakan rapat di rumahnya guna membahas perkembangan situasi. Ia sangat terkejut ketika mengetahui bahwa sebagian anggota stafnya sudah dipengaruhi oleh PKI. Mereka datang ke rumah Katamso bukan untuk membahas situasi, melainkan membawa senjata untuk menangkap Katamso. Di bawah ancaman senjata, Ia tidak dapat berbuat apa-apa, Ia dibawa ke kompleks Batalyon L di desa Kentungan, kurang-lebih enam kilometer di sebelah utara Yogyakarta.
Pembunuhan atas diri Kolonel Katamso dilakukan malam hari tanggal 2 Oktober 1965. Ia dibawa dengan mobil dari tempat tahanannya ke suatu tempat di desa Kentungan itu juga baru saja melangkah beberapa meter setelah turun dari kendaraan ia diserang dari belakang. Ia dipukul dengan kunci mortir 8 Katamso jatuh tersungkur, sesudah itu menyusul keberapa pukulan lagi. Katamso tewas pada saat itu juga. Mayatnya dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang sudah disiapkan. Ke dalam lubang itu pula mereka memasukkan korban lainnya yakni Letnan Kolonel Sugiyono.
Peristiwa yang terjadi di Korem 072/ dilaporkan kepada Pangdam VII/ Diponegoro. Brigjen Suryosumpeno. la menunjuk Kolonel Widodo sebagai caretaker Komandan Resimen 072 sebab nasib Kolonel Katamso belum di ketahui Kolonel Widodo memerintahkan supaya Kolonel Katamso dicari. Walaupun sudah dicari selama beberapa hari, namun tidak berhasil. Barulah pada tanggal 21 Oktober 1965 team pencari yang sedang meneliti didaerah sekitar komplek asrama di Kentungan, tertarik melihat sekelompok tanaman yang tampaknya masih baru, sedang tanaman di sekelilingnya semuanya sudah tua. Kecurigaan mulai timbul Anggota pencari menusukkan tongkatnya ke dalam tanah yang masih lunak. Ujung tongkat beradu dengan sebuah benda. Tempat yang dicurigai itu langsung digali, dan bau busuk menyengat hidung. Di tempat itulah ditemukan jenazah Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiyono. Keesokan harinya jenazah kedua orang perwira itu di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara di Yogyakarta.
Pemerintah menghargai jasa-jasa dari pengabdian Kolonel Katamso terhadap bangsa dan negara, khususnya perjuangannya mempertahankan Pancasila. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 118/Koti/Tahun 1965 tanggal 19 Oktober 1965, Kolonel Katamso ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Brigadir Jenderal Katamso yang meninggalkan seorang isteri dan tujuh orang anak ini, memiliki pula 10 tanda kehormatan sebagai penghargaan terhadap tugas yang dijalankannya. Istrinya bernama RR. Sriwulan Murni. Dari ketujuh anak itu dua di antaranya wanita, yaitu Endang Murtaningsih dan Murni Ediyanti, lima orang laki-laki adalah Putut Kusdarmanto, Teguh Murtamso, Heru Sutoko, Ery Murwanto, dan Tamso Muryanto.akarta.