Ide Anak Agung Gde Agung lahir di Gianyar, Bali, pada tanggal 24 Juli 1921 sebagai putra sulung Raja Gianyar Ide Anak Agung Ngurah Agung. Ia mengikuti pendidikan di Hollands Inlandsche School (setingkat SD), Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (setingkat SMP), Algemeene Lagere School (setingkat SMA), dan Rechts Hoge Scholl (Sekolah Tinggi Hukum). Peran Anak Agung dalam politik dimulai di Negara Indonesia Timur (NTT), mula-mula sebagai Menteri Dalam Negeri, kemudian sebagai Perdana Menteri (Desember 1947 sampai Desember 1949). Sekalipun NIT berada di bawah pengaruh Belanda, namun Anak Agung menjalankan politik yang berbeda dengan keinginan Belanda. Pada bulan Januari 1948 ia mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri RI Amir Sjarifuddin dalam rangka mengadakan pendekatan dengan RI untuk bersama-sama mencari penyelesaian mengenai masalah Indonesia sesuai dengan cita-cita nasionalisme. Berdasarkan pendekatan itu, pada tanggal 19 Januari 1948, pemerintah RI mengakui NIT. Februari 1948, NIT mengirim Misi Parlementer ke Yogya. Politik yang digariskan Anak Agung itu dikenal sebagai politik sintesis antara sesama bangsa Indonesia, berlawanan dengan politik sintesis antara Belanda dan Indonesia yang dirancang oleh Van Mook. Anak Agung menentang keras keinginan Belanda untuk membentuk pemerintahan federal sementara sebelum terbentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS) tanpa ikut sertanya RI. Dalam hal ini ia dapat memengaruhi anggota negara-negara federal yang tergabung dalam Bijenkomst voor Federal Overleg (BFO; Pertemuan Musyawarah Federal). Bahkan, ia berhasil menampilkan BFO sebagai mitra politik RI dalam menghadapi siasat politik Belanda. Sikap pro-RI Anak Agung semakin nyata ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua pada tanggal 19 Desember 1948. Sebagai protes terhadap agresi itu, Anak Agung langsung mengundurkan dari jabatan Perdana Menteri NIT. Setelah diangkat kembali sebagai Perdana Menteri NIT (12 januari 1949), ia tetap melanjutkan politik sintesisnya. Pada awal Februari 1949 ia memimpin delegasi BFO ke Bangka untuk mengadakan pembicaraan dengan pemimpin RI yang ditawan Belanda di pulau tersebut. Sebulan kemudian BFO juga mengirim delegasi ke Bangka. Mereka menuntut agar Belanda segera menghentikan agresi militer dan membebaskan para pemimpin RI. Semetara itu, RI dan Belanda mengadakan perundingan di bawah pengawasan United Nations Commission for Indonesia (UNCI) yang akhirnya melahirkan Pernyataan Roem-Van Roijen tanggal l 7 Mei 1949. Di antara isinya yang penting ialah pemerintah RI akan dikembalikan ke Yogya dan akan diadakan Koferensi Meja Bundar di Negeri Belanda yang akan diikuti oleh RI, BFO dan Belanda. Untuk menyamakan pendapat antara RI dan BFO dalam menghadapi Belanda di KMB, Anak Agung memprakarsai diadakannya Konferensi Antar- Indonesia. Konferensi itu didakan dua kali, pertama di Yogyakarta (19 sampai dengan 22 Juli), kedua di Jakarta (30 Juli sampai dengan 2 Agustus). Dalam kedua konferensi itu RI dan BFO mencapai berbagai kesepakatan, yang penting di antaranya ialah nama negara yang dibentuk, yakni Republik Indonesia Serikat, bendera negara tetap Merah Putih dan lagu kebangsaan tetap Indonesia Raya. Disepakati pula untuk membentuk Angkatan Perang RIS yang merupakan gabungan antara TNI dan KNIL dengan TNI sebagai intinya. Perundingan KMB berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Anak Agung bertindak sebagai Wakil Ketua Delegasi BFO dan sekaligus Ketua Delegasi NIT. Dalam perundingan di KMB ia menuntut agar wilayah Irian Barat dimasukan ke dalam RIS. Belanda bersikukuh untuk tetap mempertahankan Irian Barat di bawah kekuasaan mereka. Akhirnya, setelah ditengahi oleh UNCI, dicapai kompromi yakni Irian Barat akan diserahkan kepada Indonesia setahun setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda. Dalam Kabinet RIS yang dibentuk bulan Desember 1949, Anak Agung menduduki jabatan Menteri Dalam Negeri. Jabatan sebagai menteri, yakni Menteri Luar Negeri dipangkunya dalam Kabinet Burhanuddin Harahap setelah RIS bubar dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Setelah itu, ia bertugas sebagai Duta Besar RI di beberapa negara Eropa.Sebagai seorang intelektual, Anak Agung menghasilkan beberapa karya ilmiah, bahkan pada tahun 1980 ia memperoleh gelar dokter sejarah dari Univerteit Utrecht, Negeri Belanda. Di antara karya ilimiahnya adalah :
Twenty Years of Indonesia Foreign Policy;
Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat;
Pernyataan Roem-Van Roijen 7 Mei 1949;
Renvilla;
Persetujuan Linggajati : Prolog dan Epilog.
Ide Anak Agung Gde Agung meninggal dunia pada tanggal 22 April 1999. Berkat jasa-jasanya, Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor : 068/TK/Tahun 2007 tanggal 6 November 2007, ia juga menerima penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dari Pemerintah RI. Dari pemerintah asing ia pun menerima penghargaan berupa Le Grand Cross Leopold (Belgia), Grand Order van Oranje Nassau (Belanda), dan Grand Order of Austria (Austria).