Biografi
Lahir di Yogyakarta dengan nama Bendoro Raden Mas Dorodjatun di Ngasem, Hamengkubuwana IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Di umur 4 tahun Hamengkubuwana IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS diBandung. Pada tahun 1930-an ia berkuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda ("Sultan Henkie").
Hamengkubuwana IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar "Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat". Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat "Istimewa". Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adam mengenai otonomi Yogyakarta. Pada masa Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda dalamAgresi Militer Belanda I.
Peran dalam Serangan Umum 1 Maret 1949
Peranan Sultan Hamengkubuwana IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh TNI masih tidak singkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, ialah yang melihat semangat juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan umum. Sedangkan menurut Suharto, ia baru bertemu Sultan malah setelah penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana pribadinya (dari istana Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai republik yang tidak mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2.
Sejak 1946 ia pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Sukarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 ia diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, ia menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti padaPeristiwa Malari dan hanyut pada KKN.
Ia ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di Amsterdam, Belanda pada tahun 1938.
Bapak Pramuka Indonesia
Sejak usia muda Hamengkubuwana IX telah aktif dalam organisasi pendidikan kepanduan. Menjelang tahun 1960-an, Hamengkubuwana IX telah menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan). Pada tahun 1961, ketika berbagai organisasi kepanduan di Indonesia berusaha disatukan dalam satu wadah, Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki peran penting di dalamnya. Presiden RI saat itu, Sukarno, berulang kali berkonsutasi dengan Sri Sultan tentang penyatuan organisasi kepanduan, pendirian Gerakan Pramuka, dan pengembangannya.
Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Sukarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini beranggotakan Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Prof. Prijono (Menteri P dan K), Dr.A. Azis Saleh (Menteri Pertanian), dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa). Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 238 Tahun 1961, tanggal20 Mei 1961.
Pada tanggal 14 Agustus 1961, yang kemudian dikenal sebagai Hari Pramuka, selain dilakukan penganugerahan Panji Kepramukaan dan defile, juga dilakukan pelantikan Mapinas (Majelis Pimpinan Nasional), Kwarnas dan Kwarnari Gerakan Pramuka. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai Ketua Kwarnas sekaligus Wakil Ketua I Mapinas (Ketua Mapinas adalah Presiden RI).
Sri Sultan bahkan menjabat sebagai Ketua Kwarnas (Kwartir Nasional) Gerakan Pramuka hingga empat periode berturut-turut, yakni pada masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Sehingga selain menjadi Ketua Kwarnas yang pertama kali, Hamengkubuwana IX pun menjadi Ketua Kwarnas terlama kedua, yang menjabat selama 13 tahun (4 periode) setelah Letjen. Mashudi yang menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama 15 tahun (3 periode).
Keberhasilan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam membangun Gerakan Pramuka dalam masa peralihan dari “kepanduan” ke “kepramukaan”, mendapat pujian bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Dia bahkan akhirnya mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973. Bronze Wolf Award merupakan penghargaan tertinggi dan satu-satunya dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) kepada orang-orang yang berjasa besar dalam pengembangan kepramukaan.
Atas jasa tersebutlah, Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka pada tahun 1988 yang berlangsung di Dili (Ibukota Provinsi Timor Timur, sekarang negara Timor Leste), mengukuhkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat Keputusan nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka.
Wafat
Minggu malam 2 Oktober 1988, ia mangkat di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat karena serangan jantung dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.
Silsilah
Sri Sultan Hamengkubuwana IX bersama istri kelimanya, Kangjeng Raden Ayu Norma Nindya Kirana |
- Anak keenam belas dari Sultan Hamengkubuwana VIII dan permaisuri RA Kustilah/KRA Adipati Anom Hamengkunegara/Kangjeng Alit.
Istri | Anak | Mantu |
---|---|---|
BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama, putri R.B. Suryokusumo, buyut HB VI (1940) | BRM Murtyanta/GBPH Adi Kusuma/GBPH Hadikusuma | Dr. Sri Hardani |
BRM Kaswara/GBPH Hadisurya | Andinidevi | |
BRA Gusti Sri Murhanjati/GKR Anom | Kolonel Budi Permana/KPH Adibrata | |
BRA Sri Murdiyatun/GBRAy Murdakusuma | KRT Murdakusuma | |
BRA Dr Sri Muryati/GBRAy Dr. Darmakusuma | KRT Darmakusuma | |
RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy Adipati Anom, putri Raden Wedana Purwowinoto, buyut HB III (1943) | BRM Herjuna Darpita/KGPH Mangkubumi, SH/KGPAA Mangkubumi/Sri SultanHamengkubuwana X | Tatiek Drajad Suprihastuti/BRA Mangkubumi/GKR Hemas |
BRM Sumyandana/GBPH Joyokusumo | Hj. Nuraida | |
BRM Ibnu Prastawa/KGPH Hadiwinoto | Aryuni Utari | |
BRA Dr Sri Kuswarjanti/GBRAy Dr. Riyakusuma | KRT Riyakusuma | |
KRA Hastungkara, putri Raden Panji Trusthajumena, buyut HB VII (1948) | BRM Arumanta/GBPHPrabukusuma, S.Psi | Kuswarini |
BRM Kuslardiyanta | Jeng Yeni | |
BRM Sulaksmana/GBPHYudhaningrat, BA. | Raden Roro Endang Hermaningrum | |
BRM Abirama/GBPH Candradiningrat | Hery Iswanti | |
BRA Sri Kusandanari | ||
KRA Ciptamurti, putri KPH/BRA Brongtodiningrat, cucu HB VII | BRM Anindita/GBPH Pakuningrat | Nurita Afridiani |
BRM Prasasta/GBPH Cakraningrat | Lakhsmi Indra Suharjana | |
BRM Arianta | Farida Indah | |
BRM Sarsana | ||
BRM Harkomoyo | Iceu Cahyani | |
BRM Swatindra | ||
BRA Kuslardiyanta | ||
Norma Musa/KRA Norma Nindya Kirana, putri Handaru Widharna (1977) | BRA Sri Kusuladewi | KRT Padma Kusuma Sastronegoro |