Biografi[sunting | sunting sumber]
Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]
Nama asli Tan Malaka adalah Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis ibu. [4] Nama lengkapnya adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Tanggal kelahirannya tidak dapat dipastikan, dan tempat kelahirannya sekarang dikenal sebagai NagariPandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Ayahnya bernama HM. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa.[5] Tan Malaka mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat.[6] Pada tahun 1908, ia didaftarkan keKweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut gurunya GH Horensma, Malaka, meskipun kadang-kadang tidak patuh, adalah murid yang pintar.[7] Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda. [8] Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang hebat.[7] Ia lulus dari sekolah itu pada tahun 1913. Setelah lulus, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelardatuk. [8] Ia menerima gelar tersebut dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.[9]
Pendidikan di Belanda[sunting | sunting sumber]
Meskipun diangkat menjadi datuk, pada bulan Oktober 1913 ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), yang didanai oleh para engku dari desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya, dan pada 1915, ia menderita pleuritis.[10] Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai meningkat setelah membaca de Fransche Revolutie, yang diberikan kepadanya sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma.[11] Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme, membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.[12] Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Karena banyaknya pengetahuan yang ia dapat tentang Jerman, ia terobsesi menjadi salah satu angkatan perang Jerman. Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman, Bagaimanapun, ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing.[13] Saat itulah ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal dari-Democratische Vereeniging (ISDV, pendahulu dari Partai Komunis Indonesia).[4] Ia juga tertarik bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Demokrat Sosial Guru).[14] Pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.[a][15] Menurut sang ayah, selama Tan Malaka di Belanda, mereka berkomunikasi melalui suatu sarana mistik disebut tarekat.[16]
Kembali ke Hindia Belanda[sunting | sunting sumber]
Mengajar[sunting | sunting sumber]
Setelah lulus, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara.[15][17] Ia tiba di sana pada Desember 1919; dan mulai mengajar anak-anak itu bahasa Melayu pada Januari 1920.[18][19] Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagaiDeli Spoor.[17] Selama masa ini, dia belajar dari kemerosotan dan keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera.[18] Ia juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk media massa.[4] Salah satu karya awalnya adalah "Tanah Orang Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920.[20] Ia juga menulis mengenai penderitaan parakuli kebun teh di Sumatera Post.[17] Tan Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920, mewakili kaum kiri.[21] Ia memutuskan untuk mengundurkan diri pada 23 Februari 1921.[18]
Madilog dan Gerpolek[sunting | sunting sumber]
Wikisumber memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini: |
Madilog dan Gerpolek kerduanya acapkali dianggap merupakan karya penting dari Tan Malaka.
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Wikisumber memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini: |
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia pada masa itu. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara, serta kebudayaan dan sejarah yang diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalah itu. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian yang merupakan sikap konsisten yang jelas pada gagasan-gagasan dalam perjuangannya.
Pahlawan[sunting | sunting sumber]
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.
Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Tan Malaka dalam fiksi[sunting | sunting sumber]
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia, Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit diMedan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst. Nama patjar merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang seorang pahlawan Revolusi Perancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Musso (sebagaiPaul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) danSoebakat (Soe Beng Kiat). Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.[22]